Mentawai–Berburu

Etnis Mentawai percaya bahwa semua mahluk hidup dan benda mati memiliki jiwa atau roh. Bukan hanya manusia, tetapi juga pohon dan sampan, monyet dan jembatan, kupu-kupu dan meja. Semua harus diperlakukan dengan baik, tak boleh sembarangan. Kelancangan atau bentuk-bentuk perilaku yang tidak menunjukkan rasa hormat akan mendatangkan sanksi dari Taikamanua (penguasa alam semesta ketiga dunia: dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah).

Kepercayaan tradisional yang dinamakan arat sabulungan tersebut membuat orang Mentawai tidak bisa berlaku sembarangan terhadap alam. Karena itu setiap aktivitas pribadi dan sosial yang mereka lakukan  sarat komunikasi dengan mahluk-mahluk di alam gaib. Mahluk-mahluk yang tidak terlihat atau hanya dilihat oleh manusia terpilih yaitu para kerei (dukun). Komunikasi itu berlansung lewat ritual khusus yang dinamakan lia atau punen.

Mulia tak bisa pula dilangsungkan begitu saja. Setiap uma atau perorangan yang punya hajat harus menyelenggarakan perburuan sebelum memulainya dan sebelum menutupnya. Maka bisa dikatakan kalau orang Mentawai berburu itu bukanlah perburuan biasa, melainkan perburuan adat yang erat kaitannya dengan keyakinan, bukan berburu untuk memberantas hama babi atau untuk kesenangan menikmati hobi saja.

Selama di Matotonan aku beberapa kali diajak berburu. Meskipun aku lebih sering berada di kandang babi saja menunggu orang berlalri-lari mengejar joja (monyet), bilou (siamang), bokkoi (beruk) dan simakobuk (sejenis monyet juga), rusa atau babi. He he tak sanggup aku ikut-ikutan lari dan melompat-lompat dalam hutan tropis basah. Apalagi kalau harus meniti batang kayu kecil di atas rawa-rawa sagu seperti yang selalu aku temui bila berjalan kaki dari satu desa ke desa lainnya di pedalaman itu.

Sebelum berburu mereka makan bersama dulu bersama kerei. Kerei memimpin komunikasi dengan Taikaleleu (roh penguasa gunung, bukit, sungai, air terjun dan hutan). Seperti biasa ada babi dan ayam peliharaan yang dipersembahkan dalam momen makan bersama. Jangan sembarangan, karena yang makan di situ bukanlah orang hidup saja, tetapi juga roh penguasa, roh para leluhur dan roh seisi hutan.

Komunikasi dengan Taikaleleu ini disesuaikan kata-katanya dengan lia apa yang akan diselenggarakan. Apakah lianabag (ritual pembuatan sampan baru), lia untuk pembangunan rumah baru, lia untuk kesembuhan dari penyakit, lia perkawinan anak. lia kelahiran anak, lia kehamilan, lia kematian dan seterusnya sesuai siklus kehidupan (life cycles).

Selama perburuan berlangsung–bisa sampai seminggu–rimata (kepala suku) kerei dan yang punya hajat berpantang mandi. Selain itu mereka–kecuali kerei— juga dilarang memakan makanan tertentu. Aku sudah lupa apa saja, tapi kalau tidak salah ada jenis sayuran, buah atau daging hewan tertentu yang dipantangkan bagi mereka.

Kalau salah satu pihak melanggar pantangan dan larangan tersebut maka perburuan itu bisa dipastikan gagal, atau tidak direstui Taikaleleu. Indikatornya ada saja kekacauan yang terjadi seperti anggota perburuan yang terluka, jatuh ke jurang, digigit ular, tertusuk anak panah, tersayat parang, tiba-tiba sakit, berkelahi, tak berhasil mendapatkan satu pun hewan buruan dan sebagainya. Jika ini terjadi maka mau tidak mau tahap ritualnya harus diulang lagi dari awal.

Mengapa mereka harus bicara pada Taikaleleu sebelum dan sesudah berburu? Ini seperti minta izin dan memohon kesediaan Taikaleleu untuk bermurah hati menyerahkan hewan peliharaannya kepada para pemburu. Masalahnya semua hewan yang ada di dalam hutan dan di dalam sungai adalah milik Taikaleleu. jangan coba-coba mengambilnya tanpa permisi kalau tidak ingin celaka.

Ritual yang sama dengan tujuan berbeda dilakukan lagi setelah perburuan usai. Tujuannya untuk berterima kasih kepada Taikaleleu untuk kemurahan hatinya telah bersedia menyerahkan beberapa ekor hewan peliharaannya kepada uma tersebut.  Selanjutnya setelah lia selesai diselenggarakan, tengkorak hewan buruan itu digantung di ambang pintu masuk ke ruang tengah uma. Tujuannya untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada Taikaleleu, sekaligus membanggakan diri kepada uma lainnya bahwa uma mereka termasuk uma yang disyangi Taikaleleu, terbukti dari banyaknya hewan buruan yang mereka peroleh.

Setiap kali dapat buruan maka tuddukat akan dibunyikan, sehingga seluruh warga desa, yang berada dalam desa maupun di sapou saina yang jauh  terpencar-pencar, mendengarnya. Semua akan tahu yang berburu uma apa mendapatkan hewan buruan apa, jantan betinanya, besar kecilnya. Bunyi tuddukat itu sekaligus memanas-manasi uma lain dengan keberhasilan mereka.

Setelah perburuan awal ditutup maka lia pun dilangsungkan di uma. Ciri-cirinya adalah kumpul bersama, makan bersama sambil menikmati tarian dan nyanyian, serta melakukan apa yang tadinya dihajatkan atau yang menjadi tujuan lia tersebut. Misalnya membangun rumah atau membuat sampan. Ikut serta dalam lia adalah para sinuru’ yakni sanak kerabat seuma yang ikut membantu pekerjaan besar tesebut.

Terlihat di sini bahwa lia itu ditujukan untuk memelihara hubungan dengan para roh penguasa dan roh leluhur di uma sabeu (kampung abadi di alam baqa), sekaligus untuk menghibur roh masing-masing anggota uma agar tetap betah dalam raga. Soalnya bila roh atau jiwa sudah tak betah dalam raga seseorang dia bisa pergi dari tubuh dan menyebabkan seseorang itu sakit. Bila dia keenakan dan merasa lebih diperhatikan di uma sabeu, dia tak akan kembali lagi ke tubuh sisakit dan itu berarti kematian bagi orang tersebut.ImageImageImage

Leave a comment