Orang mentawai suka damai. Panah beracun mereka buat bukan untuk membunuh sesama manusia, tapi untuk berburu dan membina hubungan baik dengan arwah para leluluhur serta penguasa alam gaib. Pedang mereka besar dan berat, tapi bukan untuk memancung leher atau menebas pinggang sesama manusia. Tegge (parang) lebih banyak digunakan untuk menebang bambu, pohon untuk kayu bakar, mengolah sagu dan semacam itu. Meski demikian, bukan berarti mereka tak kenal konflik atau hidup dalam harmoni setiap waktu.
Namanya juga manusia. Orang Mentawai juga sering berbeda pendapat atau berselisih paham. Macam-macam penyebabnya. Merasa diperlakukan tidak adil, dihina, dilecehkan, diejek, iri hati, dipermalukan dan sebagainya. Bagusnya setiap konflik tidak langsung diselesaikan dengan adu fisik atau penyerangan bersenjata. Perang mulut lebih sering dipilih untuk mengeluarkan energi buruk dalam hati dan pikiran. Syukur-syukur selesai sampai di situ, berakhir bersamaan dengan termanifestasikannya ungkapan kekecewaan atau kemarahan. Tapi bila tidak, komunikasi yang lebih besar bisa diselenggarakan di uma.
Jika yang bertikai anggota seuma, penyelesaiannya bisa lebih mudah. Selisih paham diselesaikan oleh anggota uma yang lebih tua atau anggota uma yang disegani. Kalau tidak puas pihak yang masih merasa tak mendapat keadilan bisa memilih meninggalkan umanya, lalu membangun uma sendiri. Konflik vertikal maupun horizontal tidak terjadi. Semua bisa pergi dengan tenang ke arah yang berlainan. Yang pergi membawa bagiannya tanpa memaki-maki, yang tinggal menata bagian mereka tanpa mencaci. Harmoni kembali. Kehidupan berjalan seperti semula.
Kalau konflik melibatkan dua uma yang tak punya keterikatan sejarah ataupun emosional, konflik terbuka lebih mungkin terjadi, tergantung penyebab perseteruan. Apa yang aku alami di Matotonan, Siberut Selatan tahun 1986 adalah faktor pemicu konflik berdarah paling mungkin, karena sudah menyangkut kehormatan dan martabat uma.
Seorang gadis hamil. Dia menyebut nama seorang anggota uma Sabulat sebagai lelaki yang menghamilinya. Pemuda yang namanya disebut menolak bertanggungjawab dengan alasan yang mulaibo (pacaran) dengan gadis itu bukan dia saja, masih banyak yang lain. Gadis itu tidak membantah kalau dia juga mulaibo dengan pemuda lain, tapi menurut dia pemuda dari Sabulat itu yang paling sering dan lebih dia sukai sebagai suami.
Ketegangan mulai merayapi kedua keluarga inti. Selanjutnya berkembang ke keluarga besar sejalan dengan makin menuanya usia kandungan si gadis. Lalu memuncak saat si gadis akan melahirkan. Saat-saat kritis itu sungguh menegangkan. Si pemuda tetap menolak bertanggungjawab. Dia lebih suka gadis lain. Si gadis tetap menginginkan pemuda itu, dia tak mau pemuda lain. Gawat.
Anak panah beracun dan busur telah disiapkan. Anggota uma Sabulat disiagakan. Mereka gelisah. Menunggu perkembangan dari kubu uma si gadis. Perkembangannya tergantung bagaimana kondisi si gadis dan bayinya yang segera akan lahir.
Kalau dia celaka saat melahirkan, atau bayinya cedera atau meninggal, dipastikan umanya akan menyerang uma sabulat. Bunuh-bunuhan sudah pasti. Anak panah akan beterbangan mencari tubuh dan leher musuh. Parang akan ditebaskan ke pinggang, dada dan kepala lawan.
Sebaliknya bila bayinya lahir dengan selamat, dan dia baik-baik saja, maka mungkin hanya tulou (denda) yang akan dibayarkan oleh uma Sabulat. Harmoni akan kembali mewarnai interaksi sosial dalam kampung.
Tengah malam, tuddukat (sejenis kentongan) berbunyi dari uma lawan. Seketika wajah tegang di uma Sabulat berubah menjadi kelegaan. “Anak dan ibunya selamat,” bisik Ariadi Sabulat. Segera saja seluruh lelaki di uma mengelompok ke tengah ruangan, ke dekat tungku perapian dan suara-suara yang tadi entah di mana, perlahan-lahan mulai memecah kesenyapan. Mereka membicarakan langkah selanjutnya, karena besok utusan dari uma si gadis pasti akan muncul di uma mereka mengajukan tulou.
Besoknya benarlah utusan itu datang menyampaikan tuntutannya yang kemudian dijawab oleh para tetua uma Sabulat. Proses berikutnya adalah membayar denda yang diminta, kemudian paabad pun diselenggarakan dua minggu kemudian.
Paabad adalah punen perdamaian (ritual perdamaian). Kedua uma berkumpul di salah satu uma yang telah disepakati, lalu makan bersama dan menari sepanjang malam. Sagu, pisang, keladi, babi, ayam, ikan disumbangkan oleh kedua belah pihak. Banyak candaan terdengar, begitupun suara tawa. Aura perdamaian membumbung ke angkasa lalu jatuh perlahan-lahan ke bawah, melingkupi kedua uma yang sebelumnya sempat bersitegang dengan mata menantang semerah saga.