Mentawai-Paabad

Image

Orang mentawai suka damai. Panah beracun mereka buat bukan untuk membunuh sesama manusia, tapi untuk berburu dan membina hubungan baik dengan arwah para leluluhur serta penguasa alam gaib. Pedang mereka besar dan berat, tapi bukan untuk memancung leher atau menebas pinggang sesama manusia. Tegge (parang) lebih banyak digunakan untuk menebang bambu, pohon untuk kayu bakar, mengolah sagu dan semacam itu.  Meski demikian, bukan berarti mereka tak kenal konflik atau hidup dalam harmoni setiap waktu.

Namanya juga manusia. Orang Mentawai juga sering berbeda pendapat atau berselisih paham. Macam-macam penyebabnya. Merasa diperlakukan tidak adil, dihina, dilecehkan, diejek, iri hati, dipermalukan dan sebagainya. Bagusnya setiap konflik tidak langsung diselesaikan dengan adu fisik atau penyerangan bersenjata. Perang mulut lebih sering dipilih untuk mengeluarkan energi buruk dalam hati dan pikiran. Syukur-syukur selesai sampai di situ, berakhir bersamaan dengan termanifestasikannya ungkapan kekecewaan atau kemarahan. Tapi bila tidak, komunikasi yang lebih besar bisa diselenggarakan di uma.

Jika yang bertikai anggota seuma, penyelesaiannya bisa lebih mudah. Selisih paham diselesaikan oleh anggota uma yang lebih tua atau anggota uma yang disegani. Kalau tidak puas pihak yang masih merasa tak mendapat keadilan bisa memilih meninggalkan umanya, lalu membangun uma sendiri. Konflik vertikal maupun horizontal tidak terjadi. Semua bisa pergi dengan tenang ke arah yang berlainan. Yang pergi membawa bagiannya tanpa memaki-maki, yang tinggal menata bagian mereka tanpa mencaci. Harmoni kembali. Kehidupan berjalan seperti semula.

ImageKalau konflik melibatkan dua uma yang tak punya keterikatan sejarah ataupun emosional, konflik terbuka lebih mungkin terjadi, tergantung penyebab perseteruan. Apa yang aku alami di Matotonan, Siberut Selatan tahun 1986 adalah faktor pemicu konflik berdarah paling mungkin, karena sudah menyangkut kehormatan dan martabat uma.

Seorang gadis hamil. Dia menyebut nama seorang anggota uma Sabulat sebagai lelaki yang menghamilinya. Pemuda yang namanya disebut menolak bertanggungjawab dengan alasan yang mulaibo (pacaran) dengan gadis itu bukan dia saja, masih banyak yang lain. Gadis itu tidak membantah kalau dia juga mulaibo dengan pemuda lain, tapi menurut dia pemuda dari Sabulat itu yang paling sering dan lebih dia sukai sebagai suami.

Ketegangan mulai merayapi kedua keluarga inti. Selanjutnya berkembang ke keluarga besar sejalan dengan makin menuanya usia kandungan si gadis. Lalu memuncak saat si gadis akan melahirkan. Saat-saat kritis itu sungguh menegangkan. Si pemuda tetap menolak bertanggungjawab. Dia lebih suka gadis lain. Si gadis tetap menginginkan pemuda itu, dia tak mau pemuda lain. Gawat.Image

Anak panah beracun dan busur telah disiapkan. Anggota uma Sabulat disiagakan. Mereka gelisah. Menunggu perkembangan dari kubu uma si gadis. Perkembangannya tergantung bagaimana kondisi si gadis dan bayinya yang segera akan lahir.

Kalau dia celaka saat melahirkan, atau bayinya cedera atau meninggal, dipastikan umanya akan menyerang uma sabulat. Bunuh-bunuhan sudah pasti. Anak panah akan beterbangan mencari tubuh dan leher musuh. Parang akan ditebaskan ke pinggang, dada dan kepala lawan.

Sebaliknya bila bayinya lahir dengan selamat, dan dia baik-baik saja, maka mungkin hanya tulou (denda) yang akan dibayarkan oleh uma Sabulat. Harmoni akan kembali mewarnai interaksi sosial dalam kampung.

Tengah malam, tuddukat (sejenis kentongan) berbunyi dari uma lawan. Seketika wajah tegang di uma Sabulat berubah menjadi kelegaan. “Anak dan ibunya selamat,” bisik Ariadi Sabulat. Segera saja seluruh lelaki di uma mengelompok ke tengah ruangan, ke dekat tungku perapian dan suara-suara yang tadi entah di mana, perlahan-lahan mulai memecah kesenyapan. Mereka membicarakan langkah selanjutnya, karena besok utusan dari uma si gadis pasti akan muncul di uma mereka mengajukan tulou.

Besoknya benarlah utusan itu datang menyampaikan tuntutannya yang kemudian dijawab oleh para tetua uma Sabulat. Proses berikutnya adalah membayar denda yang diminta, kemudian paabad pun diselenggarakan dua minggu kemudian.

Paabad adalah punen perdamaian (ritual perdamaian). Kedua uma berkumpul di salah satu uma yang telah disepakati, lalu makan bersama dan menari sepanjang malam. Sagu, pisang, keladi, babi, ayam, ikan disumbangkan oleh kedua belah pihak. Banyak candaan terdengar, begitupun suara tawa. Aura perdamaian membumbung ke angkasa lalu jatuh perlahan-lahan ke bawah, melingkupi kedua uma yang sebelumnya sempat bersitegang dengan mata menantang semerah saga.Image

Mentawai-Wanita

Image

Wanita Mentawai adalah sosok yang kuat. Dalam pembagian tugas secara budaya mereka bertanggungjawab mengasuh anak-anak, mengurus suami, mertua, semua ipar dan anggota uma suaminya, Itu berarti pekerjaan seperti memasak, memandikan anak, mengambil air, mengurus ladang keladi, membantu di pusaguat (tempat pengolahan sagu), mencari ikan, memberi makan hewan peliharaan,mencuci baju dan piring, serta banyak lagi tetek bengek pekerjaan rumah tangga. Karena itu, wanita Mentawai bangun paling cepat–pukul 05.00-an sudah memasak–dan tidur paling lambat–bisa pukul 24.00 baru bisa tidur.

ImageDi Matotonan wanita Mentawai yang belum menikah disebut sioko’, sementara yang sudah kawin dipangggil kalabai. Aku lupa apa sebutan untuk janda. Seperti para lelaki yang sejak kecil sudah diakrabkan dengan panah, sejak kecil sioko sudah diperkenalkan dengan tangguk. Aku lupa apa namanya. Ini terkait kewajiban mereka setelah dewasa nanti, yakni menangkap ikan, mendapatkan lauk untuk makanan.Image

Kalau Anda ke pedalaman, di sepanjang sungai Anda akan menemukan banyak wanita sedang menangguk ikan di sungai. Mereka berkelompok, dari yang tua sampai anak-anak, dengan sebuah tabung bambu tersampir di punggung, tempat ikan dan udang tangkapan mereka disimpan. Lokan tidak disimpan dalam tabung itu, kulitnya yang keras membuat dia lebih cocok ditumpuk di dasar perahu.

Mencari ikan, udang dan lokan adalah happy hours, mereka melakukannya sambil bernyanyi riang atau bersenda gurau, mandi-mandi, perang-perangan air dan berenang. Karena itu mereka harus akrab dengan sampan, sarana transportasi yang mereka gunakan untuk menuju lubuk-lubuk yang dikenal memiliki banyak ikan, udang dan lokan. Image

Gette atau ladang keladi adalah tempat umum lainnya untuk menemukan wanita Mentawai. Setiap hari ada saja yang mereka kerjakan. Membersihkan tanaman keladi dari rerumputan atau memanennya untuk dibawa pulang. Keladi adalah makanan pokok mereka selain sagu dan pisang,  Keladi merupakan salah satu mas kawin yang sangat penting.

Ladang magok–pisang–adalah tempat nyaman lainnya. Tapi mereka jarang ke sini. Hanya ketika ada pohon pisang yang hendak ditebang saja karena buahnya telah matang. Di luar waktu itu pisang hanya disilau-silau sekilas dalam perjalanan pergi dan pulang menangguk.

Untuk bisa menikahi wanita Mentawai, seorang lelaki harus berkecukupan. Dia harus punya paling tidak sepetak ladang keladi, beberapa rumpun pisang, beberapa batang pohon kelapa, pohon mangga, pohon durian, sebuah sampan, sebuah kuali besar, sebuah periuk atau panci besar, sebilan parang, beberapa lembar kain panjang, sejumlah uang, beberapa ekor babi dan ayam dan banyak lagi persyaratan.

ImageMengapa begitu banyak? Soalnya pihak keluarga perempuan harus melepas putrinya untuk selamanya. Wanita Mentawai yang menikah menjadi anggota uma suaminya. Mereka harus meninggalkan sukunya.

Sekarang setelah arat sabulungan ditinggalkan, dan berbagai agama samawi seperti Katolik, Protestan dan Islam dianut, aturan semacam ini tak diikuti lagi. Mas kawinnya mungkin masih, tapi ketentuan-ketentuan lainnya sudah berubah. Anak perempuan tetap menjadi bagian keluarga selamanya, setelah menikah atau menjadi janda. Image

Bersenang-senang di Makakang

Image

Pantai Mentawai sungguh tiada dua. Kuning, coklat terang, putih, halus, bersih, bahkan di Tuapeijat yang sarat sampah, pantainya masih bisa bertahan dengan air yang tetap jernih, tenang, menyejukkan. Lain lagi Makakang, yang cuma 15 menit dengan speed boat dari Tuapeijat. Indahnya tak terperi, sehingga kata-kata pun jadi basi. Tak perlu diucapkan lagi.

Siang di bulan Januari 2009. Matahari sedang garang-garangnya, sekitar pukul 13.00 WIB. Saya (Pemimpin Redaksi Puailiggoubat/kontributor Padangmedia.com), Bang Encu dan Gugun (Korwil YCM Siberut Selatan, Sandang Paruhum (Direktur YCM dan PU Pualiggoubat), Andom Sabebegen (Korwil YCM Siberut Utara), Gerson Merari Saleleubaja (wartawan Puailiggoubat untuk wilayah Siberut Selatan), Marianti Satoinong (staf khusus kesekretariatan YCM), Yosep Sarogdog (staf Divisi OR YCM, caleg PDIP dari Madobag), Bambang Sagurung (wartawan Puailiggoubat dan Padangmedia.com di Sipora), Marhayati (istri Sandang Paruhum), Sihol (putra Sandang Paruhum), Astrimilus Salamanang (mantan Sekretaris Redaksi Puailiggoubat) siap-siap di dermaga Dinas Perhubungan Tuapeijat. Saatnya ke Makakang, melepas penat-penat dan ketegangan, setelah hampir seminggu mengikuti rapat awal tahun di Uma YCM, Mapaddegat, Sipora.

Makakang, nama ini sudah lama saya dengar. Tapi sekalipun belum berkunjung. Maklum selama ini yang menarik dari Mentawai bagi saya hanyalah budaya, ternyata pantainya alamaak, jauh lebih mempesona. Tak heran kalau ribuan turis tergila-gila betul dengan Mentawai, dari website-website cantik di internet yang mereka buat, terlihat sekali kekaguman mereka pada pantai-pantai Mentawai.

Lain lagi para surfer, ombak Mentawai benar-benar bisa membuat mereka horny. Tak segan-segan, mereka datang dengan kapal pesiar dan helikopter, langsung dari negara asal, hanya untuk bisa berselancar dan meliuk-liuk di antara keganasan ombak Mentawai yang mereka namai macam-macam. Mereka juga tak lupa beramal dengan mendanai lembaga amal bernama Surf Aid, yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat dan penanganan bencana.

Akhirnya boat YCM bermesin 80 pk itu nyala juga dan kami melaju membelah Teluk Tuapeijat yang tenang. Horay Makakang kami datang. Tak sampai 15 menit salah satu dermaga Aloita Resort & Spa sudah terlihat. Kami lalu jalan kaki sejenak melewati hamparan pasir di bawah pohon kelapa yang berjejer rapi. Di kiri kanan jalan setapak itu ada lampu-lampu tersembunyi dalam tiang pohon. Alami dan efeknya si malam hari pasti romantis sekali.

Aloita Resort & Spa

Kawasan paling terkenal di Makakang adalah Aloita Resort & Spa. Aloita adalah sebuah resort dengan motto pleasure in paradise (pelesir di surga ho ho). Tempat ini terdiri dari 8 bungalow beranjang lebar. Ada juga yang berisi 2 dan 3 ranjang single. Surfer yang menginap di bungalow ini dikenai charge US$ 200 (sekitar Rp2 juta lebih) per kepala per malam, sementara tamu non surfer US$ 150 per kepala per malam. “Untuk tamu lokal, cukup Rp700 ribu per kepala per malam,” kata Andi, Humas Aloita Resort.

Tak perlu sedih kalau tak bisa menikmati segala fasilitas Aloita, seperti restaurant dan barnya yang cantik di tepi pantai, spanya yang sarat aroma terapi dan soft message (pijatan lembut jemari-jemari trampil), scuba diving dan snorkeling (menyelam dan eksplorasi bawah air), memancing dengan perlengkapan khusus kelas kaum jet set, surfing, jet sky yang serba wah dan mahal, makanan dan minumannya yang tak terjangkau kantong kita, karena ada kemewahan lain yang tak perlu dibayar di pantainya yang indah, di mana warga lokal jatuh bangun belajar surfing di ombaknya yang tak terlalu ganas. Atau sekedar bakar ikan hasil pancingan di pantainya nan menawan.

Kita juga masih main tenis meja di bar, volley pantai, atau memancing di Pulau setan. Tak perlu melongok ruang belajar scuba diving yang tarifnya US$80 sampai US$400 (kalikan saja Rp11.000 kalu mau tahu harganya dengan uang kita), kalau punya Rp150 ribu atau Rp250 ribu, Anda bisa mencoba spa dan pijatan lembut wanita berjari lentik itu selama 30 menit, minuman termurah adalah air mineral Aqua Rp10.000 saja, harga bir berkisar Rp20.000 (Bintang) sampai Rp33.000 (Guiness), camilan Tango Rp5.000. Makanan Indonesia rata-rata Rp37.000, misalnya nasi goreng, mie goreng, dan tempura. Kue-kue Rp18.000. Banyak putra putri asli Mentawai yang bekerja di Aloita. Beberapa di antaranya berasal dari Madobag.

ImageImage

Dilarang Buang Sampah

Sebagai obyek wisata internasional, Aloita Resort dan Spa menerapkan aturan yang sangat ketat di areanya. Tamu atau karyawan misalnya tidak dibenarkan memancing atau membuang sampah di perairan depan resor. “Misalnya kertas bungkus nasi, kantong plastik dan botol plastik, kalau benda-benda itu terlihat, tamu asing takkan segan-segan melompat ke air dan memungutnya untuk dibuang ke tempat sampah, kita yang malu dibuatnya” kata Andi.

Tak heran kalau airnya bersih sekali. Turis asing tak kan terusik oleh dedaunan dan ranting pohon yang terdampar di pantai, karena bagi mereka itu bukan sampah, karena takkan merusak lingkungan dan kecantikan Makakang. Memancing ikan karang di dermaga tak diperbolehkan karena ikan-ikannya tergolong ikan hias yang biasa menghuni aquarium. Mereka akan lebih cantik bila terlihat hidup dan berenang kian ke mari di air yang jernih kehijauan atau di sela-sela bunga karang yang jelas terlihat di bawah air. Aturan-aturan yang sangat sadar lingkungan ini patut didukung bersama, karena tujuannya sangat mulia, yakni menjaga keasrian dan kelestarian alam Makakang yang indah.

Yang bukan tamu hotel sebenarnya juga dilarang lewat di halaman resort, tapi aturan yang ini kami anggap keterlaluan, apalagi kalau diberlakukan pada orang Mentawai, yang sebelum ada resor tersebut bebas saja menikmati keindahannya. Tentu toleransi yang bijak bisa menjadi solusi.

Kami menikmati Makakang dan Aloita Resort sampai pukul 4 sore. Kebanyakan waktu habis untuk bermain pasir, mandi di airnya yang teduh dan sok berjemur ala turis berkulit pucat, padahal sudah coklat kehitaman dibakar matahari. Ketika speed boat melaju kembali ke Tuapeijat, ada yang kami bawa dari Makakang, kenangan abadi akan keindahannya. 

Image

Menikmati Pantai Mentawai

 

Image

Eksotisme Mentawai bukan hanya ada pada budayanya, tetapi juga alamnya. Selain ombaknya yang sangat disukai surfer kelas dunia–terdapat 157 titik ombak sehingga Mentawai diberi ranking nomor 4 top ombak dunia–pantai-pantainya juga bukan main cantiknya. Dari Siberut di utara sampai Pagai di selatan, pantai-pantaiu Mentawai selalu mengundang decak kagum.

Beberapa di antaranya adalah Pantai Tuapeijat, Pantai Mapadeggat, Pantai Makakang (Sipora Utara), Pantai Katiet, Pantai Bosua (Sipora Selatan).

Untuk mencapai pantai-pantai ini tak dibutuhkan biaya banyak, rinciannya sebagai berikut:

Dengan KMP Ambu-ambu (kapal ferry milik ASDP)

Berangkat dari Pelabuhan Bungus, Padang setiap Minggu ke Tuapeijat (ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai). Biaya taksi dari Padang Rp50.000.

Tarif KMP Ambu-ambu Rp85.000 (ekonomi), Rp125.000 (bisnis). Rp300.000 (kamar ABK), ada dua single bed, televisi, kursi dan meja. Kebersihan kapal agak kurang, mohon dimaklumi. Jarang Padang – Tuapeijat kurang lebih 100 km, waktu tempuh 10 jam. Berangkat pukul 20.00 atau 20.30 WIB – tiba di Tuapeijat Pukul 06.00 – 07.00 WIB.

Di Tuapeijat ada 3 hotel melati dekat pelabuhan. Tarif per kamar Rp75.000 – Rp100.000. Fasilitas double bed, 2 single bed, full keramik, kamar mandi di dalam dengan ember besar dan gayung, toilet jongkok, kipas angin, sarapan cari sendiri (tapi banyak warung padang, tak usah kuatir). Nama-namanya Wisma Bintang, Getsemani, Khaterine.

Image

Kalau mau merasakan nikmatnya tidur di uma (rumah tradisional Mentawai), bisa menyewa uma YCM Mentawai, tarif Rp500.000 per malam, fasilitas tikar, kamar mandi (air kurang bersih), bisa menampung 100 orang, jaraknya 5 km dari Tuapeijat, tarif ojek Rp7.500 per orang, carter angkot Rp100.000 bisa membawa 12 orang sekali jalan. Ada PC, telepon dan internet, sewanya lain lagi. Kelebihan: terletak di puncak bukit (view lepas ke Pantai Mapadeggat atau di depan ombak telescope kesukaan para surfer), dekat ke Pantai Mapadeggat (hanya 1,5 km).

Ke Pantai Tuapeijat cukup jalan kaki, karena jarak terjauh tidak sampai 5 km.

Ke Pantai Makakang ada boat carteran Rp300.000 pp, bisa dimuati 10 orang. Lama perjalanan 15 menit. Pantai berpasir putih, bersih dan halus. Tak ada warung. Kalau pengelola resort Aloita lagi baik, bisa numpang duduk di barnya, kalau mau nginap di resort tarifnya US%200 (surfer) per kepala, US$150 (non surfer), untuk tamu lokal Rp700 ribu per malam per kepala. Bonus sarapan, makan siang, makan malam di-charge terpisah.

Acara di pantai: mandi dan berenang, menyelam tanpa alat (kalau mau alat juga bisa sewa milik resort, scuba diving dengan pelatihnya sekalian), bakar ikan (ikannya beli di lapak-lapak yang banyak di Pantai Tuapeijat, minum air kelapa muda (pesan sama penduduk setempat).

Image

Pantai Katiet

Ini agak jauh di selatan pulau Sipora. Dari Tuapeijat bisa ditempuh dalam waktu 2,5 jam.Tarif boat pp Rp2.000.000 (bisa untuk 10 orang), menginap di rumah penduduk (home stay) Rp50.000 per kamar. Makanan dihitung tersendiri. Acara main air di pantai, ada sedikit terumbu karang, air sangat jernih,banyak ikan karang. Kalau sedang musim surfing banyak turis, kapal pesiar dan para penjual aneka kerajinan. Tiap hari bisa main volley, takraw dengan masyarakat setempat.

Image

Kalau beruntung bisa menginap di uma Surfaid International (dengan komunikasi khusus). Bisa menampung 50 orang. Tapi saya tidak tahu kondisinya setelah tsunami 25 Oktober 2010, kemungkinan besar sudah pulih lagi, karena aktivitas surfer nggak terganggu tsunami. Mereka juga jarang tidur di resort, lebih suka di kapal.

Pantai-pantai ini cocok untuk acara reunian, refreshing kantor, piknik kampus.

Berminat? Ayo ke Mentawai!

Image

https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/29861_1455211456072_483638_n.jpg

Dermaga Aloita Resort di Pantai Makakang, Tuapeijat, Sipora Utara.

https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/29861_1455212176090_6538700_n.jpg

Pohon kelapa di Pantai Tuapeijat. Bisa dibeli buahnya.

https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/29861_1455213576125_3201212_n.jpg

Mandi-mandi di Pantai Tuapeijat yang sebening kaca.

https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/29861_1455214576150_116564_n.jpg

Kursi jemur di Aloita Resort Makakang, kalau penjaga resort lagi bggak angot, bisa numpang kok.

https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/29861_1455215696178_3538116_n.jpg

KMP Ambu-ambu, salah satu kapal yang melayani rute Padang – Mentawai.

https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/29861_1455230976560_5088934_n.jpg

Salah satu sudut Pantai Makakang, bisa main petak umpet

https://fbcdn-sphotos-d-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/29861_1455241896833_92303_n.jpg

KM Sumber Rezeki Baru, kapal lain yang melayani rute Padang – Mentawai, tarifnya Rp105 ribu (ekonomi), Rp125.000 (kamar), tapi maaf kondisinya agak jorok juga, bawa aja matras, lama perjalanan 10 jam, berangkat setiap hari Jumat pukul 20.00 WIB

https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/29861_1455245256917_4397994_n.jpg

Pantai Mapadeggat, 7 km dari Tuapeijat.

https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/29861_1455249217016_2561611_n.jpg

uma ycm mentawai.

Hmm. nggak keluar ya fotonya??

Image

Mentawai-Siberut Selatan

Mentawai Tattooing

Mentawai Tattooing (Photo credit: ccdoh1)

Image

Mentawai man smoking

Mentawai man smoking (Photo credit: fanz)

Di mana Anda bisa menyaksikan lianuma (ritual peresmian uma baru), lianabag (ritual peresmian sampan baru), ritual perkawinan, ritual kematian, pabbetei (ritual pengobatan), perburuan sebagai tahap pembukaan dan penutupan lia atau punen, ritual pengangkatan kerei atau sikerei (dukun) baru, paabad (ritual perdamaian) dan berbagai aktivitas sosial berbasis kebudayaan Mentawai lainnya saat ini? Jawabnya di kecamatan Siberut Selatan.

Meski sekarang Kecamatan Siberut Selatan sudah dibagi menjadi lima kecamatan, tapi masyarakat pendukung kebudayaan Mentawai masih terkonsentrasi di Kecamatan Siberut Selatan, yakni di kawasan Sarareiket Hulu, antara lain di Madobag, Rogdok, Ugai, dan Matotonan. Di kawasan ini gajeuma’ (gendang), jejeneng (genta) dan tuddukat (kentongan), masih berfungsi sebagaimana mestinya. Ke sini pula turis-turis mancanegara mengarahkn langkah mereka, bila ingin menyaksikan aktivitas tradisional masyarakat Mentawai, begitupun para antropolog, ethnolog dan peneliti masyarakat dan kebudayaan Mentawai lainnya.

Muara Siberut, ibukota Kecamatan Siberut Selatan, cukup ramai dan memiliki infrastruktur yang cukup lengkap untuk mendukung pariwisata. Jalan raya, listrik, air bersih, penginapan, jembatan, pelabuhan, telepon kabel dan non kabel (wireless), internet, rumah sakit, kepolisian, bank, dan berbagi sarana transportasi seperti ojek, mobil pick up, speedboat, pompong, perahu dan semacamnya cukup tersedia. Begitupun pemandu wisata dan pusat informasi, yang terakhir ini bisa didapatkan di Kantor Camat.

Dari Muara Siberut ke Sarareiket Hulu hanya dibutuhkan setengah hari perjalanan dengan pompong. Dengan speedboat bahkan lebih cepat lagi, apalagi kalau air pasang. Boat bisa melaju kencang tanpa kuatir baling-baling tersangkut di bangkai kayu yang memenuhi dasar sungai atau menabrak gosong pasir berlumpur di bagian tertentu sungai.

Pokoknya tak ada masalah transportasi. Kapan saja selalu ada transportasi ke Sarareiket, apalagi carteran, kuncinya uang dan kerendahan hati saja. Dengan dua modal itu jalan ke hulu sudah terbuka lebar untuk Anda.

Apa khasnya pedalaman Siberut Selatan ini selain memiliki banyak atraksi budaya? Selepas Muara Siberut Anda akan melewati Puro, desa bentukan pemerintah dengan nama PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat terasing). Desa ini sudah seperti desa-desa di tanah tepi, tapi di pinggir sungainya banyak ditanami pohon kelapa, dipadu dengan semak belukar gelagah sebelum memasuki kawasan desa, nuansanya persis seperti yang terlihat di film-film tentang Vietnam.

Makin ke hulu perkampungan menghilang. Sesekali kita akan menemukan sapou sainak (kandang babi) yang berdiri satu-satu di wilayah mone (ladang) suatu suku. Jarak masing-masingnya bisa mencapai 3 atau 6 kilometer.Image

Masyarakat Sarareiket sering menghabiskan waktu mereka sekeluarga di kandang babi ini, kecuali di uma ada lia atau punen, atau hari Minggu, saat mereka sekeluarga beribadah ke gereja.

Menjelang Dusun Rogdog, ada persimpangan. Belokan yang ke kanan adalah jalan menuju Salappa’, Kecamatan Siberut Tengah. Sedangkan yng lurus menunju Rogdog, Madobag, Ugai dan Matotonan.

Di Rogdog ada bagian sungai yang menurun dan sedikit berbatu, sehingga air di situ berbunyi rog dog rog dog, konon bunyi inilah yang dijadikan nama dusun.

Selanjutnya Madobag. Ini kampung asli Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet. Di tepi desa ini ada air terjun kecil yang cukup diminati turis untuk mandi-mandi. Tapi kawasan sekitar tersebut masih berupa semak belukar yang belum dibersihkan, karena itu keamanannya tak terjamin.

Kampung selanjutnya Ugai dan terakhir Matotonan. Desa Matotonan ini konon dibangun bersama-sama oleh masyarakat Mentawai dan seorang Jawa, tapi Matotonan adalah desa yang layoutnya dibentuk pemerintah, kecuali uma sabulat yang sudah sejak dahulu kala dibangun di puncak bukit. Ariadi, mantan Kepala Desa Matotonan adalah anggota suku ini.

Matotonan merupakan desa terakhir di pedalaman Siberut Selatan. Dari sini Anda bisa ke Sakuddei, uma yang menjadi obyek penelitian Reimar Schefold, ahli antropologi dari Amerika Serikat dan menulis buku “Mainan Roh”, satu-satunya buku yang lengkap dan akurat tentang masyarakat dan kebudayaan Mentawai. Untuk mencapai Sakuddei Anda harus jalan kaki selam 2 hari semalam.

Image

Tips
Perjalanan ke Sarareiket membutuhkan perlengkapan lain yang sifatnya teknis. Misalnya mantel hujan, karena perubahan cuaca sering terjadi tanpa gejala-gejala yang ekstrim. Pns terik bisa berubah seketika menjadi hujan lebat, begitu sebaliknya. Selama setengah hari di kapal Anda pasti bertemu curah hujan.

Kantong plastik adalah perlengkapan yang mutlak harus ada selain mantel hujan. Pakain dalam ransel atau carier, alat-alat tulis, laptop, kamera, tape recorder, dompet, senter, pengikat rambut, obat-obatan dan sebagainya harus diamankan dalam kantong plastik kering, bila Anda ingin semua peralatan tersebut tetap berfungsi dengan baik.

Obat-obatan. Mentawai masih menjadi salah satu tempat favorit nyamuk-nyamuk penyebar penyakit malaria, karena itu selain harus siap dengan obat anti nyamuk oles seperti Autan, Soffel, Lavenda dan lain-lain, Anda juga harus selalu sedia pil kina dan minyak tanah. Yang terakhir ini untuk mencegah gigitan singit-ngit atau agas, yang sekali nempel langsung gatal. Betadine juga diperlukan untuk berjaga-jaga dari luka. Obat-obatan lain yang juga perlu dibawa adalah obat flu, demam, sakit kepala dan obat gosok. Perubahan cuaca mendadak yang sering terjadi bisa membuat tubuh kita tidak tahan dan kondisi lapangan yang licin, berlumpur, becek sehingga kita sering harus berjalan di atas titian kayu yang lebarnya hanya 5 sentimeter, sering membuat kita terpeleset atau keseleo.

Topi, kacamata, sepatu boot dan sunblock atau handbody adalah perlengkapan lain yng tak kalah penting untuk mengurangi bahaya sengatan matahari dan gigitan ular. Di Sarareiket Hulu banyak ditemui ular hijau yang mungkin saja berbahaya. Anda takkan mau coba-coba dengan ular kan?

Namun yang terpenting dari seluruh bawaan adalah ubek (rokok atau tembakau). Masyarakat Mentawai di Sarareiket sangat suka rokok. Tua muda, laki-laki perempuan, nyaris semuanya merokok. Mereka punya rokok asli yang dibuat dari irisan daun keladi yang dikeringkan dan dibungkus daun pisang atau daun kelapa sebagai papirnya. Tapi tentu saja mereka lebih suka rokok betulan, seperti Kaiser, Galan, Gudang Garam, Jie Sam Soe dan lain-lain, termasuk tembakau Payokumbuah merek Panorama.

Anda perlu membawa ubek ini untuk membuka hati masyarakat. Mereka akan menerima Anda di uma-nya bila Anda datang dengan seyum terbuka dan ubek di tangan, akan lebih baik jika Anda tambah dengan kopi dan gula, bahka kalau ingin makan bersama mereka Anda bisa bawa beras dan lauk-pauk juga. Bukan hal aneh di Mentawai kalau tamu yang membawa jamuan, mengingat bertamu bukanlah tradisi mereka dan sajian mungkin tak cocok dengan selera Anda, kecuali Anda suka kapurut (lemang sagu kering), subbet (onde-onde keladi) dan minum air putih saja.

Sarung, selimut, kaus kaki, jacket dan matras juga wajib ada, terutama untuk tidur di malam hari, karena kawasan Sarareiket Hulu cukup dingin dan nyamuknya rajin berpatroli. Jangan mengharapkan kasur empuk di Sarareiket, bahkan di rumah guru dan kepala desa takkan ada, mereka lebih suka kasur tipis atau jaragjag (tikar pandan), kecuali di resort-resort wisata yang banyak di pulau-pulau.

Kegunaan lain sarung adalah untuk mandi sungai. Tak ada sumur yang cukup bersih di Sarareiket, karena airnya berlumpur, tapi selalu ada air bersih di sungai-sungai kecil yang mengalir di tepi desa, cuma untuk mandi di sana Anda tak boleh telanjang, harus bawa sarung sebagai basahan sekaligus untuk berganti pakaian. Anda juga tidak boleh buang hajat di sungai, pergilah ke semak-semak, gali lubang di situ, dan buanglah. Hati-hati ular dan semut rangrang.

Senter merupakan perlengkapan vital yng harus Anda miliki, karena tak ada cukup penerangan di pedalaman. Kalaupun bisa membawa obor, Anda harus punya persediaan minyak tanah yang cukup dan di hulu harganya mahal, bisa mencapai Rp7.000 per liter. Image

Mentawai-Kenangan Bersama Norman Edwin

Catatan Ini dikutip dari blog Kompasiana milik Imran Rusli seorang penulis dan jurnalis sejak 1986, telah menulis beberapa buku dan pernah di group Gramedia 1989 – 1996 (Voice of Nature Magazine dan freelancer di The Jakarta Post), Lembaga Manajemen PPM 1999 – 2001 (Majalah Manajemen), PDAT (Majalah Tempo), Pemimpin Redaksi media alternatif Puailiggoubat dan http://www.puailiggoubat.com afiliasi RFN Norway, sejak Oktober 2012 penulis dan fotografer untuk East Heritage Kuala Lumpur, kini kembali sebagai penulis bebas.
Adapun Isinya adalah sebagai berikut :

     Sakuddei, nama ini sangat menggetarkan tahun 1970-an. Waktu itu beredar kabar bahwa ada sekelompok suku Mentawai yang benar-benar masih asli, masih mempertahankan keaslian budayanya. Mereka adalah komunitas pelarian dari Madobag (kini masuk wilayah Kecamatan Siberut Selatan), yang tak sudi kepercayaannya—arat sabulungan—dimusnahkan oleh agama-agama samawi yang sejak 1954 sangat gencar memberangus mereka.
     Kabarnya mereka hidup di dalam hutan yang seram, bertubuh kekar dengan rambut panjang serta tattoo yang memenuhi seluruh tubuh sampai wajah mereka, dan sangat trampil dengan panah beracun. Pemburu-pemburu yang sangat mahir dan piawai melebihi dinosaurus.
     Informasi tentang Sakuddei menghilangkan semua bayangan tentang orang Mentawai yang beredar di Padang. Bayangan yang didominasi sekelompok orang yang berjalan beriringan satu persatu mengikuti jalan setapak yang sempit, sehingga jadi pameo di Padang: jalan ang co urang Pagai (jalan kamu seperti orang Pagai), atau lego Pagai(berantam tak keruan seperti orang Pagai).
     Pagai adalah sebutan kasar untuk orang Mentawai di daratan Sumatera Barat sejak lama, padahal itu adalah nama pulau yang kebetulan memang orangnya paling duluan dan sering ke Padang, karena pulau merekalah yang lebih dulu digarap pengusaha kayu yang kemudian menjadikan mereka buruh rendahan.
     Semuanya sirna setelah isu Sakuddei muncul. Sakuddei dipopulerkan antropolog Reimar Schefold. Penelitiannya yang kemudian dibukukan dalam buku berjudul ‘Mainan Bagi Roh’, buku setebal hampir 1.000 halaman ini sangat detail menggambarkan kehidupan orang Mentawai, tapi waktu itu saya belum pernah mendengar atau melihatnya. Setelah kuliah di Jurusan Antropologi Universitas Andalas baru saya dengar, tapi belum melihatnya.
     Tahun 1989, saya lupa bulan apa, tiga wartawan majalah Voice of Nature (Suara Alam) Jakarta muncul di kampus.  Mereka Norman Edwin, Tommy Dono dan Agus Tsawali. Norman Edwin adalah tokoh pencinta alam Indonesia yang namanya jadi hafalan di kalangan pencinta alam. Tulisannya dan tulisan tentang dia banyak menghiasi koran dan majalah-majalah top waktu itu. Mutiara, Sinar Harapan, Kompas, Tempo, Gadisdan lain-lain tak pernah sepi dari petualangannya. Maklum Norman itu seperti Sir Edmun Hillary atau Keith Mallory-nya Indonesia, pendaki top Gunung Himalaya, gunung tertinggi di dunia. Image
     Dan hari itu Sang Legenda—yang juga baru mulai bekerja untuk Harian Kompas–muncul di depan pintu saya.
     Singkat cerita saya diajak ke Sakuddei. Saya dipilih karena sudah sering ke Mentawai, sejak 1986 saya memang sudah bolak-balik ke Mentawai, terutama ke Matotonan di Siberut  Selatan, tempat saya melakukan penelitian tentang kerei, dukun Mentawai. Tahun 1987 kami juga mengalami musibah di Madobag, dan saya berhenti kuliah karena kasus skripsi, jadi nama saya juga sudah menasional dalam masalah Mentawai, pertama karena musibah, kedua karena membuatkan skripsi teman, sebab hampir seluruh media besar memberitakan. Kacau deh.
     Kalau sekarang kejadiannya mungkin lebih heboh lagi, saya takkan sempat berduka untuk ketiga orang terdekat saya dan mungkin musuhan selamanya dengan teman saya, karena sibuk melayani pers. Untunglah tak seburuk itu kejadiannya.
     Jadi berangkatlah kami. Waktu KM Sumber Rezeki masih baru. Jadi deritan kayunya tak sekeras sekarang.  Sampai pagi di Muara Siberut, ibukota Kecamatan Siberut Selatan, kami langsung ke kantor camat. Di situ camatnya buka kartu. Katanya dia sudah lama mencari saya karena tulisan-tulisan saya di Harian Singgalang yang selalu mencela pemerintah. Saya tertawa saja, dan akhirnya dia juga tertawa.  Katanya dia mengerti saya hanya menjalankan tugas, sama dengan dia, meski di sisi yang berbeda. Saya lupa nama camat itu.
     Dari Muara Siberut kami naik speedboat ke Matotonan, desa terdekat ke Sakuddei, soalnya Norman ingin lewat sungai, bukan lewat laut.  Kalau mau lewat laut bisa saja, ada boat besar dengan tarif Rp350 ribu sekali jalan. Sekarang tarifnya Rp1,5 juta. Almarhum Norman–Norman dan Didiek Syamsu dari Mapala UI meninggal saat mendaki Gunung Aconcagua, Argentina Barat yang juga dijuluki Si Bengis–ingin masuk ke jantung Mentawai, bukan hanya menyisir tepi-tepinya.Image
     Di Matotonan kami istirahat semalam di uma Sabulat, siripok saya. Kami membawa tembakau asli dari Payokumbuah, Kabupaten 50 Koto, Sumbar. Tadinya Norman ingin membawakan rokok-rokok seperti Gudang Garam Filter atau Jarum, tapi saya sarankan tembakau merek Panorama itu saja, karena lebih disukai orang-orang tua.
     Misi Norman waktu itu sebenarnya gaharu. Ketika itu di Siberut sedang terjadi penebangan pohon besar-besaran secara serampangan, karena para pemburu gaharu dari Padang, Medan, Jakarta dan bahkan Singapura membayar penduduk dengan agresif untuk mengumpulkan gaharu sebanyak-banyaknya. Getah harum yang dihargai sampai Rp10 juta di Singapura ini dibayar Rp300 – Rp1,2 juta per kilonya oleh pedagang perantara ini di lapangan.
     Mereka yang masuk sampai ke desa-desa di pedalaman Sarareiket Hulu dan Sila’oinan—tapi tak berani masuk hutan—memberi penduduk ransum untuk 7 – 14 hari. Semua gaharu yang didapatkan harus diberikan kepada mereka yang telah mengijonkan ini dengan harga tadi, tergantung kualitas gaharu yang disetor. Uang ransum langsung dipotong saat gaharu diserahkan.
     Masyarakat Mentawai yang tahu hutan mereka namun ternyata awam soal gaharu, menebangi semua pohon yang mereka anggap mengandung getah ajaib itu. Akibatnya terjadi kerusakan hutan yang cukup parah, sementara perdagangan rotan dan manau ikut macet karenanya. Gaung masalah ini sampai ke Jakarta, dan media nasional yang peka isu lingkungan dan ekonomi kerakyatan bereaksi dengan mengirim wartawan mereka ke Mentawai.
     Jadi Sakuddei hanyalah bonus yang pasti takkan dilewatkan Norman, karena almarhum terkenal sebagai wartawan yang tak pernah puas dengan hasil pas-pasan. Selalu ada bonus. Kali ini gaharu berbonus Sakudei.
     Kami berangkat subuh dari Matotonan, saat ayam berkokok dan babi melenguh di kandangnya yang terbuka. Aroma sagu busuk memenuhi langit saat kaki kami yang tak pernah menginjak tanah kering–selalu basah kena lumpur, ampas sagu atau kotoran babi–melangkah tertatih ke pedalaman.
     Ini sungguh bukan jalan yang mudah, karena kami harus turun naik bukit berkali-kali dan merenangi sungai juga berkali-kali. Perjalanan tiga  hari dua malam alam itu juga penuh sensasi kenikmatan, saat Tommy yang dikenal sebagai pengamat burung, membuat indomie dan kopi dengan kompor parafinnya. Hmm lezatnya tak terkira. Kami juga jadi terbiasa menikmati air langsung dari akar sulur yang dipotong parang tajam–waduh saya lupa nama anak Matotonan yang jadi pemandu kami—karena air tanah tak ada yang layak minum.
     Hutannya ternyata cantik juga, dan sungai-sungainya memiliki banyak bagian yang tenang dan cukup jernih, yang memungkinkan kami mandi berenang. Bahkan sungai terakhir yang bermuara ke Sagulubbe’, yang mengalir agak deras dan berbatu-batu seperti di Rogdog dan kami arungi dengan rakit dari batang pisang, tak membuat takut (apalagi bagi Norman juga yang terkenal sebagai pengarungjeram andal, selain pendaki gunung dan hantu gua), Norman malah memilih berenang saja atau berlari di pinggir sungai saking ingin cepat sampai ke Sakuddei.
     Akhirnya, di ujung hari ketiga kami sampai juga. Itupun setelah rakitnya hancur terantuk sana-sini dan tubuh terasa panas dingin tak keruan.
     Dan saya terpesona. Sakudei memang beda. Mereka tampil sangar, tubuh mereka kekar, kokoh, tinggi besar,  padat berisi. Uma mereka besar penuh orang yang bergerak lincah, Tak ada yang tampak sakit atau terbungkuk-bungkuk. Rambut mereka benar panjang dan digulung dengan kain merah, yang kemudian kami ketahui dicat dengan getah kayu. Dan kabid mereka mantap menutupi selangkangan.
     Saya tak perlu ceritakan betapa ringannya gerakan mereka saat membawa busur panah dan parang. Belum lagi anjing mereka yang puluhan jumlahnya. Dan wanitanya, juga tampak segar dan ranum tapi tak gampang tersenyum. Bahkan pemandu kami dari Matotonan takut-takut mendekati mereka.
     Kami disambut baik oleh kepala suku, yang saya tak ingat lagi namanya, yang pasti nama belakangnya Sakuddei. Disuguhi aneka penganan dari sagu dan keladi yang kami balas dengan biskuit dan tembakau. Kami bercerita ngalor ngidul dan kepala suku kemudian memperlihatkan buku Reimar yang terkenal itu.
     Salah satu teman kami, Jhonri Roza, kini Kepala Dinas Pertambangan Solok Selatan sempat ditato di sini. Tapi kata mereka itu tato persahabatan, bukan tato serius. “Kalau tato serius teman kamu takkan tahan,” kata kepala suku cengengesan dalam bahasa Mentawai yang diterjemahkan pemandu.
     Hanya semalam kami di Sakuddei, karena jadwal Norman sangat ketat. Dia memberi kepala suku batu pemantik api dari Alaska dan kepala suku tersebut menukarnya dengan buku Reimar yang semula ditolak Norman karena buku itu tentang mereka, tapi kepala suku memaksa.
     Saat mau pulang Tommy juga memberikan sejumlah uang—sekitar Rp1 juta—untuk membayar keramahan mereka, sekaligus membayar foto-foto dan lainnya karena seperti disampaikan kepala suku pada pemandu kami, mereka biasa dibayar oleh teman-teman Reimar, dan mahal,”tapi karena kalian mahasiswa yang miskin—sialan dia—bayarlah seadanya saja. Rp1 juta cukuplah untuk kami semua,”  katanya.Image
     Kami kembali lewat Sagulubbe’ dan menginap di rumah guru SD bernama Rulek Sikaraja, yang pada pilkada Mentawai tahun 2006 maju sebagai calon Wakil Bupati Mentawai. Dari Saggulubbe kami singgah di Taileleu, sebelum akhirnya melesat menuju Muara Siberut. Saya bilang melesat karena speedboat-nya benar-benar kencang, hanya 2 jam kami sudah merapat lagi di dermaga kayu ibukota Kecamatan Siberut Selatan itu.***
Sumber : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/03/25/sakuddei-kenangan-dengan-norman-edwin-102278.html

Mentawai-Kerei yang Makin Langka

ImageKerei atau sikerei atau dukun Mentawai saat ini makin sulit dijumpai, bukan hanya karena ritual adat yang membutuhkan jasa kerei makin berkurang, tetapi juga disebabkan oleh minat generasi muda yang sangat minim untuk menjadi kerei, meski memang tak sembarang orang bisa menjadi kerei. Ketika Yayasan Citra Mandiri (YCM), ornop yang bergerak dalam aksi pelestarian budaya Mentawai, merancang acara Pagelaran Budaya Mentawai 2008 di Tuapejat, Kecamatan Sipora, tanggal 11– 16 November lalu, mereka harus mendatangkan kerei dari Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, karena di Sipora, Sioban, Sikakap dan Pagai Utara Selatan kerei sudah tak ditemukan, bahkan sejak puluhan tahun silam.

Bisa dikatakan, kerei sekarang hanya ditemukan di Pulau Siberut, seperti di Rogdog, Madobag, Matotonan, Sakuddei, Salappa, Simatalu, Simalegi dan sekitarnya yang termasuk kawasan Sarareiket yakni sebagian Siberut Selatan, Siberut Utara, Siberut Barat Daya, Siberut Barat,  dan Siberut Tengah. Di sana masih banyak punen atau lia (ritual adat) yang membutuhkan peranan kerei. Orang sakit kadang-kadang juga masih dibawa ke kerei, meskipun Puskesmas dan Polindes makin lama makin diminati masyarakat, termasuk kerei sendiri. Aku sendiri pernah didatangi kerei yang minta procold utuk menyembuhkan demamnya.

”Saat ini memang lebih mudah menemukan kerei di kawasan Sarareiket, atau pedalaman Siberut Selatan, karena di sana masih banyak masyarakat yang membutuhkan mereka,” kata Sandang Paruhum, Direktur YCM waktu itu.

Perantara Dua Dunia

Dalam persepsi banyak orang, kerei adalah dukun yang jasanya diperlukan untuk mengobati orang sakit atau untuk meramal nasib, kerei juga dianggap sebagai penghibur penyemarak pesta-pesta rakyat Mentawai, padahal sebenarnya semua itu hanyalah varian yang dihasilkan dari fungsi kerei yang sebenarnya yakni sebagai mediator (perantara) yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia di alam nyata dengan makhluk halus di alam maya agar harmoni—yang akan menguntungkan manusia—bisa tetap terjaga.

Dalam penelitian tahun 1986 di Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, aku menemukan fakta bahwa kerei bukanlah profesi yang sengaja dicari-cari, melainkan semacam panggilan. Mereka yang menjadi kerei tidak jadi kerei karena mereka menginginkannya, melainkan karena terpilih dan mereka tak bisa lari dari pilihan tersebut. Kata mereka, pilihan itu dijatuhkan lewat mimpi.

Taikamanua yang memilih kami, bukan rimata atau sikebukkat uma,” kata sipaumat (kepala kerei dari satu uma)  suku Tasiriotoi (saya lupa namanya). Taikamanua adalah penguasa tertinggi alam semesta yang terdiri dari tiga bagian, yakni dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Mungkin identik dengan Tuhan pada agama-agama samawi seperti Islam, Katolik atau Protestan.

Rimata adalah kepala suku sedangkan sikebukkat uma adalah pemilik uma atau kepala uma. Istilah rimata mungkin dipakai di Sipora atau Pagai. Di Siberut lebih banyak digunakan sikebukat uma. Uma sendiri adalah sebutan untuk kelompok suku, rumah asal suku dan kampung, karena dulu di Mentawai biasa saja satu kampung hanya dihuni oleh satu suku, misalnya Sakuddei di Siberut Barat Daya.Sedangkan sipaumat adalah sebutan untuk kerei senior yang mengepalai seluruh kerei yang ada di satu uma atau laggai (kampung).

Nah, setelah terpilih kerei kemudian dibekali kemampuan memahami dan berbicara dalam bahasa roh dan jiwa-jiwa yang ada di dunia lain, dunia mahluk halus yang diyakini paralel dengan dunia nyata.

Namun kedua penghuni dunia yang berbeda ini bisa saja saling berbenturan tanpa salah satunya—biasanya manusia—menyadari bahwa dia telah berinteraksi dengan warga dunia yang lain itu. Dengan kemampuan tersebut kerei bisa berperan sebagai mediator yang berperan menjaga harmoni hubungan kedua mahluk ini.Image

Orang Mentawai percaya seluruh mahluk dan benda di alam semesta ini memiliki jiwa (kina). Alam semesta juga dipenuhi roh (simagere). Meski kina dan simagere sama-sama mahluk halus, mereka berbeda. Simagere bisa berasal dari kina orang yang sudah mati atau memang sudah ‘dari sono’nya sebagai roh yang berdiri sendiri. Sementara kina ya kina saja, mereka sejak awal sudah berdiri sendiri. Jadi ada kina pada semua mahluk hidup dan semua benda mati. Manusia punya kina, pepohonan punya kina, sampan dan rumah juga punya kina.

Agar harmoni tercipta—juga rasa aman dan kenyamanan hidup—hubungan dengan semua roh dan jiwa ini harus dijaga baik-baik. Caranya dengan bantuan kerei yang menguasai bahasa mereka dan bisa melihat sosok mereka. Mereka harus dihibur, diberi makan, dihormati kalau manusia tidak ingin sakit, mengalami musibah atau bahkan mati, sebab roh dan jiwa yang tidak diperhatikan dengan baik bisa marah, bisa sedih, bisa cemburu, dan bentuk-bentuk emosional lainnya. Kalau jiwa bersedih dan pergi dari tubuh manusia, manusia akan jatuh sakit dan mati. Kalau roh yang marah manusia bisa celaka yang ujung-ujungnya mati juga.

Ketika seseorang sakit, berburu, mencari kayu bakar, berternak, membangun rumah, menangkap ikan, menikah, membuat sampan, membuka ladang, dan berbagai aktivitas lainnya, dia akan meminta bantuan kerei, untuk mengetahui keinginan jiwa dan roh yang berhubungan dengan kegiatannya itu, agar tidak menimbulkan kemarahan atau kesedihan. Kerei akan membantu dengan menanyakan, meminta keikhlasan, menyampaikan permintaan, menghibur jiwa-jiwa dan roh itu agar manusia bisa melaksanakan aktivitasnya dengan aman dan selamat, tanpa gangguan.

Makin Berkurang

Sekarang, ketika pengaruh agama-agama samawi, juga media massa seperti televisi yang sudah masuk ke pedalaman Mentawai, serta interaksi langsung dengan berbagai etnis lainnya masyarakat Mentawai menemukan pemahaman lain tentang alam semesta, akibatnya kepercayaan pada arat sabulungan yang erat dengan fungsi dan peranan kerei menyusut tajam.

”Tak banyak lagi yang butuh kerei sekarang,” kata Jacobus Salaisak (60), kerei dari Salappa yang kutemui di Mapaddegat, Tuapeijat Sabtu (15/11). “Tak banyak lagi orang yang terpilih jadi kerei,” tambah temannya Valentinus Salimu (56), juga dari Salappa. “Anak-anak sekarang lebih suka bersekolah ke tanah tepi dan pulang jadi pejabat, bisa punya banyak uang,” tambahnya sambil menjelaskan bahwa dalam setiap kegiatan yang menggunakan jasanya, kerei tidak boleh meminta imbalan uang. “Bayarannya hanya otcai, daging babi dan ayam pembagian,” katanya

Pdt Urlik Tatubeket, Ketua AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat-Peduli Mentawai) Kabupaten Mentawai mengatakan generasi muda sekarang sudah tak tertarik lagi menjadi kerei, tapi karena ada peluang sebagai obyek budaya, banyak juga yang menyaru jadi kerei. “Kerei gadungan ini mencari uang dari turis,” katanya. Jadi kerei benar-benar akan lenyap dari bumi Mentawai, kecuali sebagai komoditas pariwisata?

”Sepertinya belum”, kata Selester Saguruwjuw (55), anggota AMA-PM Kabupaten Mentawai. “Di kampung saya di Rogdog, kerei memang tersisa sekitar 10 orang, tapi di Madobag, Matotonan, Salappa dan Simatalu sepertinya masih banyak,” kata mantan Kepada Dusun Rogdog, Kecamatan Siberut Selatan, yang juga seorang kerei  ini. Tapi kita tahu, dia ragu.

English: With the Mentawai - Amam Derikogo, an...

English: With the Mentawai – Amam Derikogo, and his brother, as they divine the future using entrails. Siberut Island, Indonesia. (Photo credit: Wikipedia)

Image

Mentawai–Tulou

ImageSetiap suku bangsa (etnik) punya aturan atau norma sendiri. Aturan yang terkonklusi dalam adat ini merupakan konsensus yang mereka sepakati bersama untuk menciptakan dan menjaga harmoni kehidupan dalam komunitas etnik tersebut. Pada suku bangsa yang lebih terstruktur norma itu dibakukan dalam apa yang disebut hukum adat. Aku bukan ahli hukum adat. Aku hanya akan menceritakan aturan adat yang kulihat selama aku berinteraksi intensif dengan orang Mentawai.

Setiap adat dijaga dengan sanksi sosial. Di Mentawai–paling tidak di Siberut Selatan–sanksi adat tersebut dinamakan tulou (denda). Apa saja aturan atau kesepakatan adat yang kau langgar maka kau akan ditulou sebagai ganjaran. Tujuannya sama saja dengan sanksi hukum lainnya yakni untuk memberi efek jera agar seseorang tidak mengulangi perbuatan melanggar hukum tersebut.

Orang Mentawai tak rumit-rumit. Kau rusakkan sampan tetangga kau ditulou, kau ganggu atau berzina dengan istri tetangga atau istri saudara kau ditulou, kau curi babi atau ayam orang kau ditulou, kau aniaya anak tetangga kau ditulou, begitu seterusnya. Tak banyak ribut-ribut. Yang salah mengaku salah dan membayar tulou, maka kehidupan sosial kembali berjalan normal.

Nilai tulou berbeda-beda. Aku tidak tahu pelanggaran apa yang nilai tulounya paling besar. Mungkin memperkosa dan membunuh adik istri seperti pernah terjadi di Pagai Utara beberapa tahun silam. Selingkuh dengan istri saudara tulounya juga besar seperti pernah terjadi di Siberut Utara beberapa kali. Waktu aku di Saliguma–kinimasuk Kecamatan Siberut Tengah–ada warga yang harus membayar tulou berupa 3 ekor babi, 5 ekor ayam, beberapa batang kelapa, mangga, durian, sagu, beberapa rumpun keladi, parang, kuali, kulit penyu, periuk, piring, geklas, sendok dan sejumlah uang karena menggoda istri orang.Image

Ya, dendanya berupa harta benda si pelanggar. Denda itu dijatuhkan setelah kedua belah pihak bernegosiasi dalam sebuah pertemuan mirip sidang. Kalau sudah disepakati si pelanggar harus membayar semua tulou itu tanpa neko-neko lagi. Kalau seseorang menolak membayar tulou situasi bisa memburuk. Keluarga besar yang dilanggar bisa menyatakan perang kepada keluarga besar pihak yang melanggar. Panah beracun pun akan disiapkan kalau ini terjadi. Syukurlah hal semacam itu jarang terjadi, karena orang Mentawai lebih suka harmoni, bukan seperti orang Dayak atau Papua yang memang suka berperang untuk menambah kekuatan suku masing-masing dengan roh-roh musuh yang meeka bunuh.

Orang Mentawai juga menerapkan tulou itu itu pada sasareu (orang asing) yang bermasalah dengan mereka.  Di Matotonan beberapa tahun sebelum aku datang, ada anak buah pencari manau dari Padang yang ditulou gara-gara main mata dengan istri warga desa. Semua barangnya seperti tas, ransel, sleeping bag, matras, kamera, jaket, sepatu, sandal, topi, kemeja, celana panjang, rokok dijadikan sitaan tulou. Dia balik ke Muara Siberut hanya mengenakan celana pendek tanpa baju. Untung ada majikannya yang meminjamkan baju, tapi dia harus menanggung malu dari hulu sampai muara, karena cerita seperti itu cepat sekali menyebar.

Sampai aku memimpin Tabloid Puailiggoubat (2008 – 2012) sistem tulou ini masih diberlakukan di banyak tempat di Mentawai. Salah satunya di Muara Sikabaluan, ketika Kepala Desa Muara Sikabaluan ketahuan selingkuh dengan istri kakaknya. Tapi tak ada gejolak. Setelah tulou dibayar keluarga besar itupun rukun kembali seperti sedia kala.

Yang lucu adalah kisah pencurian yang sampai ke polisi. Karena mencuri mesin pompong tetangganya seorang pemuda di Siberut Utara–aku lupa dusunnya–dilaporkan ke polisi dan ditangkap. Keluarganya kemudian menyelesaikan persoalan tersebut dengan membayar tulou kepada keluarga besar korban pencuran. Tapi anaknya tetap diproses dan masuk surat kabar.

Nah, orang tua dan keluaga besarnya mencoba menulou wartawan Puailigoubat di Muara Sikabaluan  karena dianggap bersalah memberitakan kasusnya. Mereka beralasan wartawan kami tak seharusnya memberitakan hal itu karena masalahnya telah mereka selesaikan. Tentu saja kami menolak klaimnya, karena itu kasus pencurian yang telah sampai ke tangan polisi. Persoalannya bukan lagi persoalan antara uma mereka berdua, tapi sudah menjadi masalah kriminal yang melanggar hukum formal negara dan publik berhak tahu. Mereka bersungut-sungut kaena tidak bisa menulou kami.

Di Madobag, Siberut Selatan, tahun 2011 juga pernah terjadi kasus pencabulan terhadap anak SD berusia 8 tahun. Tapi orang tuanya tidak melapor ke polisi. Pelakunya hanya ditulou dengan sejumlah babi, ayam, pohon durian, sagu, mangga, ladang keladi, parang, kuali, periuk, piring dan gelas. Masalah selesai. Begitulah.Image

Mentawai–Rourou

ImageRourou atau panah adalah alat berburu utama di Mentawai. Meskipun orang Mentawai kadang-kadang juga menggunakan parang dan tombak, tapi panah lah yang selalu mereka bawa berburu. Lagipula panah merupakan produk asli kebudayaan mereka, sedangkan parang dan tombak diperkenalkan oleh Belanda dan sasareu (orang jauh, orang asing) lainnya dari daratan Sumatera sejak 200 tahun silam.

Panah Mentawai terdiri dari beberapa bagian yakni busur, tali busur, tabung wadah anak panah, tali tabung, dan anak panah itu sendiri. Busur terbuat dari sejenis kayu yang liat dan kuat. Juga sangat lentur. Aku lupa namanya, tapi ingat bahwa kayu itu berwarna hitam atau coklat kehitam-hitaman dan mengandung sedikit minyak, sehingga selalu tampak berkilat dan berkilau bila diterpa cahaya. Busur itu berdiameter 5 milimeter sampai 2 sentimeter. Bagian tengah adalah yang paling besar diameternya. Panjangnya mencapai 2 meter. Aku telah melihat film dokumenter tentang suku Masai dan suku San di Afrika di National Geography Channel, mereka juga berburu, tapi panah mereka kalau keren dengan panah orang Mentawai.

Tali busur panah Mentawai juga kuat dan lentur. Terbuat dari sejenis kulit kayu yang aku juga lupa namnya–maklum sudah hampir 30 tahun kutinggalkan–tapi samar-samar aku ingat bahwa tali itu dijemur sampai kering sebelum dijadikan tali busur. Aku lupa disebut apa tali busur ini, seperti aku lupa apa sebutan orang Mentawai–terutama di Matotonan–untuk busur.Image

Tabung anak panah disebut ogbug. Entah mengapa aku ingat yang ini, semoga tidak salah. Ogbug merupakan tabung silinder yang terbuat dari bambu sepanjang kira-kira 50 sentimeter. Diameternya antara 6 – 8 sentimeter. Ogbug ini dilengkapi tali yang saat berburu disampirkan ke bahu. Talinya yang juga terbuat dari kulit kayu harus kuat, karena ogbug sering terbanting-banting ketika dibawa berlari mengejar hewan buruan.

Setiap berburu sekitar 40 anak panak panah dibawa dalam ogbug. Ada macam-macam bentuk dan kegunaan anak panah. Bobokuk misalnya adalah anak panah bermata kayu tumpul mirip alu atau ulekan berdiameter 2 sentimeter. Gunanya untuk memanah burung atau ayam hutan hidup-hidup.

Selain bobokuk ada anak panah biasa, dengan mata panah terbuat dari kayu yang diruncingkan dan diulir. Aku tidak ingat bagaimana mereka meruncingkan kayu tesebut, yang pasti semua mata panah itu sama runcingnya dan sangat simetris. Aku tak melihat alat bubut atau semacamnya digunakan untuk membuat mata anak panah. Anak panah ini digunakan untuk berburu burung dan ayam hutan juga, cuma yang diburu pakai anak panah ini lebih untuk dikonsumsi, jadi mati pun tak apa. Mata panah ini ada yang dibiarkan polos, ada pula yang diolesi racun. Tergantung keperluannya.

Anak panah yang khusus untuk berburu joja (monyet, kera), bilou (siamang), bokkoi (beruk, monyet ekor pendek) dan simakobuk (sejenis monyet atau kera juga, mungkin mirip dengan simpai kalau di daratan Sumatera Barat), disebut tunung dan terbuat dari lempeng kuningan yang diruncingkan dan ditajamkan. Tunung juga dipakai untuk memanah monyet, babi hutan atau rusa. Biasanya tunung ini dilumuri racun untuk melumpuhkan hewan buruan lebih cepat, agar mereka tidak repot mencari-cari mayatnya. Racun ini bisa melumpuhkan hewan buruan dalam 5 menit setelah terpanah, tapi kalau sampai 30 menit kena panah beracun itu hewan buruan biasanya mati dengan tubuh membiru atau menghitam dan mulut mengeluarkan busa seperti penderita epilepsi.

Mungkin Anda kesal, tapi sungguh aku juga lupa dari apa racun panah orang Mentawai dibuat dan bagaimana proses pembuatannya. Maklum sudah 30 tahun silam. Rasanya mereka menggunakan bisa hewan-hewan beracun seperti ular, kalajengking, kelabang atau kodok yang dicampur dengan racun dari bagian-bagian tanaman beracun seperti akar, kulit batang, daun atau buah. Bahan dasar racun itu ditumbuk atau diulek sampai halus, lalu disaring dan dioleskan ke mata anak panah. Aku tidak ingat apakah semua bahan itu dijemur dulu atau tidak, tapi kalau tidak salah anak panah yang telah dilumuri racun biasanya dijemur atau disangai (dipanaskan) dekat api sampai melekat sempurna. Entah berapa hari proses pembuatan racun panah ini, namun yang jelas selama membuat racun panah dan mengoleskannya ke mata anak panah si pembuat tidak boleh mandi, berhubungan seksual dan memakan makanan tertentu, terutama ikan lajo atau ikan panjang. Kalau pantangan ini dilanggar dipercayai racun panahnya takkan mangkus.

Anak panah itu sendiri panjangnya sekitar 50 – 60 sentimeter. Terdiri dari dua bagian, pangkal dan ujung. Pangkalnya terbuat dari sejenis rumput tinggi atau gelagah yang banyak tumbuh d tepi sungai. Batang ini dipotong-potong sama panjang sekitar 30 sentimeter lalu dijemur sampai kering. Di atasnya dibuat sambungan untuk menyatukannya dengan bagian ujung yaitu bagian yang merupakan mata anak panah. Bagian ujung ini terbuat dari kayu yang diruncingkan. panjangnya sekitar 20 sentimeter.

Aku pernah berpikir mengapa orang Mentawai tak menggunakan bambu saja untuk bagian pangkal anak panahnya, tapi kemudian aku sadar mereka pasti sudah mempertimbangkannya dengan seksama, mengapa harus mengunakan bahan yang lebih ringan untuk pangkal anak panah. Itu bagian dari ethnoscience, pengtahuan tradisional mereka, yang didapat lewat proses panjang dan telah diwarisi secara turun-temurun selama berabad-abad! Jadi aku tak pernah menanyakannya.

Lelaki Mentawai harus memiliki panah sendiri dan bisa memanah. Karena itu kewahjiban tradisi dan sudah menjadi perannya dalam budaya. Dan bagaimana hal itu diwariskan? Mereka sudah diberi panah sejak masih balita!Image

Mentawai–Pasigirit Abag

Abag atau sampan (perahu) merupakan sarana transportasi penting di Mentawai, terutama dulu ketika jalan darat belum banyak dibuat seperti sekarang. Saking pentingnya bisa dikatakan hampir semua orang punya sampan sendiri, kecuali anak-anak. ImageSampan itu dibutuhkan sebagai sarana transportasi dari desa ke sapou saina (kandang babi), mone (ladang), rattei (kuburan), mencari iba (ikan) atau lokan di sungai atau bahkan berbelanja atau berobat ke pusat kecamatan. Tanpa sampan semua urusan sehari-hari akan sulit dilakukan, karena itu sampan sangat berarti bagi orang Mentawai. Mereka bisa marah besar kalau sampannya dirusak, tulou (denda)-nya akan sangat besar.

ImageSelain fungsinya yang sangat vital, sampan juga susah dibuat. Sampan Mentawai bukanlah papan yang disusun-susun begitu saja, tapi dibuat dari sebatang kayu utuh yang diambil jauh ke tengah hutan. Selama di Matotonan aku beberapa kali ikut orang Sabulat dan Siritoitet membuat sampan. Medannya berat setengah mampus karena kayunya benar-benar pilihan dan tidak boleh sembarangan pula mengambilnya.

Sebelum membuat sampan, yang punya hajat harus mengatur perburuan dulu, untuk minta izin Taikaleleu mengambil kayunya. Saat itu dia sudah berpantang mandi, berpantang melakukan hubungan seksual, berpantang memakan makanan tertentu. Dia harus menunjukkan kesungguhan hatinya untuk membuat sampan itu agar Taikaleleu senang menyerahkan pohonnya.

Hebatnya membuat sampan itu harus sendirian. Orang seumanya atau sinuru’ hanya boleh membantu hal-hal lain, misalnya mengantar dia ke tepi hutan, membantu memasak untuk makan bersama, dan membantu menarik sampan itu ke sungai kalau sudah jadi. Di luar itu tidak boleh. Sampan harus dibuatnya sendiri.

Setelah perburuan dan proses minta izin Taikaleleu selesai, pergilah dia masuk hutan sendirian dengan membawa rebusan daging babi dan ayam untuk diserahkan ke roh-roh yang ada di hutan, termasuk roh kayu yang dipilihnya untuk dijadikan sampan.

Namun prosedurnya tak sesederhana itu. Jika pohon itu menunjukkan tanda tak ingin dipakai, biasanya ditandai dengan kehadiran sejenis burung yang saya lupa namanya, maka si empunya hajat harus mengurungkan niatnya mengolah pohon itu. Dia harus mencari kayu yang lain lagi. Begitu terus sampai dia menemukan kayu yang cocok dan mengizinkan dirinya dijadikan sampan, sekaligus mendapat restu dari pohon itu sendiri dan roh penguasa hutan (Taikaleleu).

Jadi benar-benar tidak sembarangan. Di sini terlihat betapa arifnya orang Mentawai mengelola hutan. Mereka sangat sadar bahwa menjaga lingkungan berarti menjaga keselamatan diri sendiri, keluarga dan orang sekampungnya.

Jika kayu sudah didapat, dia akan membuat tenda darurat di situ dengan kayu dan daun sagu atau dedaunan lain yang bisa digunakan untuk atap. Setelah akomodasi siap, mulailah dia menebang pohon tersebut. Ini bisa makan waktu 2 – 3 hari, karena kayu yang digunakan untuk sampan harus besar, paling tidak diameternya 1 meteran. Dan mereka hanya menggunakan kapak, bukan chainsaw. Sekarang sudah banyak yang pakai chainsaw, mereka bahkan tak perlu lagi membuat sampan sendiri karena sudah banyak yang menjual sampan dan boat.

Setelah pohon tumbang, selanjutnya proses mengolah batang pohon itu menjadi sampan. Mereka menggunakan beliung untuk mengeruk  bagian tengah batang tersebut dengan perhitungan matang, karena mereka hanya mengunakan feeling, intuisi, bukan alat-alat ukur modern untuk mendapatkan akurasi dan presisi yang tepat, agar sampan yang dibuat sempurna keseimbangannya dan pas aerodinamikanya.

Proses ini bisa makan waktu berminggu-minggu, bahkan sebulan. Selama itu istri dan anggota umanya setiap hari bergantian mengantarkan makanan dan minuman untuk konsumsinya.

Setelah sampa selesai dibuat, dia akan mengundang lagi para sinuru’ dan kerei untuk makan bersama, sekaligus menurunkan sampan itu ke sungai untuk dibawa ke desa. Nah di sini suasananya agak heboh, karena mereka harus menebang banyak pohon kecil untuk digunakan sebagai jalan sampan tersebut. Apa ya namanya landasan kayu untuk jalan sampan itu? lupa aku. Lokot atau apa gitu….?

Mengapa kubilang heboh? Karena sepanjang jalan dari lereng bukit ke sungai, para sinuru’ itu berteriak-teriak sambil mendorong sampan baru itu bersama-sama. ‘Kawa..kawa..tilei! Kawa…kawa…tilei!” Begitu beruiang-ulang. Heboh sekali, apalagi mereka terus saja bercanda dan ketawa-ketiwi sambil mendorong. Sayang aku tak punya lagi dokumentasinya, padahal dokumentasi itu sangat penting, terutama sekarang ketika orang Mentawai tak repot lagi bikin sampan. Jual coklat, jual cengkeh, jual nilam, jual rotan, jual manau, jual kelapa sudah bisa beli sampan. Tata caranya juga sudah tak diikuti lagi, karena mereka telah melihat bagaimana sasareu (orang sasing) menebas hutan seenaknya dan ternyata mereka baik-baik saja. Tidak sakit atau celaka.

Sampai di sungai sampan itu tak boleh dinaiki. Dia harus ditarik dengan sampan lain menuju uma di kampung dan diistirahatkan. Selanjutnya dilakukan lianabag. Ritual untuk meresmikan sampan baru. Seperti biasa ada tarian, makan bersama, nyanyian kerei dan semacamnya. Bedanya kali ini kerei akan melakukan ritual pasibitbit sikatai’ dan pasibitbit simaeru’, yaitu upacara pengusiran roh jahat dan pemanggilan roh baik. Ada mantra khususnya di sini, saya tak ingat lagi. Catatannya juga sudah lama hilang.